KOSTATV.ID – JAKARTA – Pemerintah menemukan sejumlah pelanggaran lingkungan dalam aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Empat perusahaan tambang kini berada di bawah pengawasan ketat, menyusul desakan penghentian operasi dari berbagai pihak, mulai dari menteri hingga anggota parlemen.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, empat perusahaan yang tengah disorot adalah PT Gag Nikel (GN), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), PT Anugerah Surya Pratama (ASP), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP).
Meski seluruhnya telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP), tercatat hanya tiga yang memiliki izin penggunaan kawasan hutan (PPKH).
PT ASP, yang merupakan penanaman modal asing asal Tiongkok, tercatat melakukan eksploitasi di Pulau Manuran seluas ±746 hektare tanpa sistem manajemen lingkungan dan pengolahan limbah. KLHK menghentikan aktivitas dengan memasang plang larangan di lokasi.
Sementara PT GN beroperasi di Pulau Gag seluas ±6.030 hektare, dan PT MRP ditemukan beroperasi di Pulau Batang Pele tanpa dokumen lingkungan dan PPKH. Seluruh kegiatan eksplorasi MRP dihentikan. Adapun PT KSM membuka tambang di luar izin seluas 5 hektare di Pulau Kawe.
KLHK menegaskan aktivitas pertambangan di pulau kecil melanggar UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Menteri KLHK Hanif Faisol menyatakan izin lingkungan dua perusahaan kini tengah dievaluasi dan bisa dicabut bila terbukti merusak ekosistem. “Penambangan di pulau kecil adalah bentuk pengingkaran terhadap keadilan antargenerasi,” katanya, Kamis (5/6).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengonfirmasi bahwa IUP PT Gag Nikel telah terbit sejak 2017 dan beroperasi setahun setelahnya.
Baca: Raja Ampat, Penyelamat Kekayaan Alam Dunia yang Diakui UNESCO
Ia menegaskan lokasi tambang berada di luar kawasan wisata utama Raja Ampat, tepatnya sekitar 30-40 kilometer dari Piaynemo. “Harus dipastikan bahwa lokasi yang ditambang bukan destinasi wisata. Informasi di media perlu dicek kembali,” ujar Bahlil.
Menteri Kebudayaan (Menbud) RI, Fadli Zon, menyuarakan kekhawatiran atas dampak kerusakan alam dan gangguan terhadap situs budaya di Raja Ampat.
Ia meminta pemerintah menghentikan sementara aktivitas tambang dan melakukan kajian menyeluruh. “Jangan ganggu ekosistem dan situs sejarah. Saya setuju tambang dihentikan dulu agar tidak merusak lebih jauh,” ujarnya.
Dorongan evaluasi juga datang dari Wakil Ketua Komisi VII DPR, Rahayu Saraswati. Ia menilai, kawasan konservasi seperti Raja Ampat tidak boleh menjadi korban eksploitasi.
“Semua izin usaha harus ditinjau ulang, termasuk lembaga yang mengeluarkannya. Dampak terhadap keanekaragaman hayati dan pariwisata tidak boleh dianggap sepele,” tegasnya.
Ketua Komisi VII DPR, Saleh Daulay, mengingatkan agar pemerintah meninjau keabsahan IUP serta dampaknya terhadap masyarakat. “Apakah rakyat ikut mendapat manfaat atau hanya perusahaan saja?” ucapnya.
Penolakan terhadap tambang nikel di Raja Ampat juga disuarakan lewat aksi protes oleh Greenpeace Indonesia bersama pemuda Papua, dalam forum Indonesia Critical Minerals Conference, 3 Juni lalu. Mereka menuntut penyelamatan pulau-pulau kecil dari aktivitas ekstraktif yang dinilai merusak lingkungan secara permanen.