Kostatv.id – Kematian tragis Afif Maulana, seorang bocah berusia 13 tahun di Padang, Sumatra Barat, telah memicu gelombang perhatian dan kontroversi yang melibatkan sejumlah lembaga negara serta masyarakat luas. Peristiwa ini terjadi dalam konteks insiden pembubaran tawuran yang melibatkan polisi.
Menurut pihak kepolisian, Afif tidak disiksa oleh anggota polisi sebelum meninggal dunia di tengah proses pemeriksaan terhadap 39 personil yang terlibat dalam insiden tersebut.
Namun, pendapat ini bertentangan dengan keyakinan tim advokat dari LBH Padang serta keluarga korban, yang menduga Afif mengalami penyiksaan sebelum wafat.
Indira Suryani, Direktur LBH Padang, dalam sebuah konferensi pers menunjukkan foto-foto jenazah Afif yang memperlihatkan luka memar di berbagai bagian tubuhnya, termasuk punggung, perut, dan rusuk. Menurutnya, luka-luka ini menegaskan dugaan bahwa Afif menjadi korban penyiksaan.
“Di dekat perutnya ada luka hijau, seperti jejak sepatu, dan luka di punggung serta rusuk kiri. Semua ini menguatkan keyakinan keluarga bahwa ada tindak penyiksaan,” ujar Indira dengan suara bergetar, sebagaimana dilaporkan oleh BBC News Indonesia.
Indira juga mengklaim bahwa LBH Padang telah mendengarkan kesaksian tujuh saksi lain yang ditangkap bersama Afif pada hari kejadian. Mereka menggambarkan bahwa anggota polisi diduga melakukan penyiksaan dengan menggunakan cambuk, sabetan listrik, rotan, dan menyundut rokok kepada korban.
Namun, versi ini dibantah oleh Kepala Divisi Humas Polda Sumatra Barat, Kombes Pol Dwi Sulistyawan, yang menyatakan bahwa Afif jatuh dari jembatan saat terjadi pencegahan tawuran. Menurutnya, luka-luka yang ada pada tubuh Afif hanyalah lecet-lecet, dan bukan akibat penyiksaan.
Baca: Kemen-PPPA Terus Mengawal Penanganan Kasus Pembunuhan IT
“Saat kejadian, Afif tidak ditangkap polisi. Hanya 18 dari 40 lebih orang yang diamankan,” kata Dwi Sulistyawan dalam klarifikasinya.
Kontroversi semakin memuncak ketika LBH Padang mengkritik ketidaktransparanan dalam proses penyidikan, di mana keluarga tidak diizinkan mengikuti pemeriksaan jenazah dan CCTV di sekitar lokasi kejadian dilaporkan tidak berfungsi.
Pemerhati kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menunjukkan bahwa opini publik mungkin akan sulit mempercayai keterangan polisi, mengingat potensi konflik kepentingan dalam kasus ini.
“Saya berharap polisi tidak membuat kesimpulan tergesa-gesa sebelum penyelidikan selesai. Perlu ada penyelidikan independen untuk memastikan kejadian sesuai fakta,” ujar Bambang.
Sebagai respons atas tuntutan masyarakat, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) bersama lembaga negara lain seperti KPAI, LPSK, dan Ombudsman, serta LBH Padang, berkolaborasi untuk memantau langsung perkembangan penyelidikan di Polda Sumatra Barat.
Mereka menekankan perlunya penyelidikan yang profesional dan komprehensif dengan dukungan ilmiah, serta menuntut konsekuensi hukum bagi anggota polisi yang terbukti melakukan penyiksaan.
Peristiwa kematian Afif Maulana telah menjadi sorotan nasional yang membangkitkan kekhawatiran akan budaya kekerasan di kepolisian. Dalam konteks ini, munculnya tuntutan untuk reformasi dalam penanganan kasus anak dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.