Kostatv.id – Putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep, baru-baru ini memperoleh surat keterangan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Jaksel) yang menyatakan bahwa ia tidak pernah menjadi terdakwa. Surat ini penting sebagai salah satu syarat untuk maju dalam Pilkada mendatang.
Pejabat Hubungan Masyarakat PN Jakarta Selatan, Djuyamto, mengonfirmasi bahwa permohonan surat keterangan tersebut diterima pada 20 Agustus 2024.
“Permohonan diproses pada hari itu juga sesuai dengan prosedur standar kami,” ujar Djuyamto dalam keterangan video sebagaimana dilansir dari laman Tempo, Jumat, 23 Agustus 2024.
Selain surat keterangan tidak pernah menjadi terdakwa, Kaesang juga mengajukan permohonan untuk surat keterangan tidak pernah dicabut hak memilih dan tidak memiliki tanggungan utang.
Ia dikabarkan akan maju sebagai calon wakil gubernur mendampingi Ahmad Luthfi dalam Pilkada Jawa Tengah. Koalisi Indonesia Maju, yang termasuk Partai NasDem, telah mendukung duet Luthfi-Kaesang ini.
Kesempatan Kaesang untuk maju semakin terbuka lebar setelah Mahkamah Agung menerbitkan putusan Nomor 23 P/HUM/2024, yang mengubah batas usia calon kepala daerah menjadi saat pelantikan, bukan saat pendaftaran.
Baca: Jokowi Hormati Proses DPR Meski Bertentangan dengan MK
Kaesang, yang saat ini berusia 29 tahun, akan genap 30 tahun pada Desember 2024, empat bulan setelah pendaftaran calon kepala daerah.
Namun, jalan Kaesang tidak mulus sepenuhnya. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXI/2024 menetapkan syarat usia calon kepala daerah dihitung saat pendaftaran, bukan saat pelantikan.
DPR sempat berencana menganulir putusan MK melalui revisi UU Pilkada, namun aksi massa yang meluas memaksa pembatalan pengesahan RUU tersebut.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengumumkan bahwa pengesahan RUU Pilkada yang dijadwalkan pada 24 Agustus 2024 dibatalkan. “Pengesahan revisi UU Pilkada dibatalkan, dan yang berlaku pada pendaftaran Pilkada 27 Agustus nanti adalah keputusan MK,” cuit Dasco di X, Kamis, 22 Agustus 2024.
Pembatalan ini terjadi karena rapat paripurna DPR tidak memenuhi kuorum yang diperlukan, dengan hanya 176 anggota hadir, jauh dari jumlah yang diharuskan lebih dari 50 persen plus 1 dari total 575 anggota DPR RI.
“Pembatalan bukan akibat aksi massa, melainkan ketidakcukupan kuorum dan perwakilan fraksi dalam rapat,” kata Dasco.