Kostatv.id – Sejumlah partai politik di Indonesia mulai mengubah arah terkait Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang sempat dipercepat pembahasannya oleh DPR, sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan penting.
Partai Demokrat, bagian dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), baru-baru ini menyatakan tidak akan melanjutkan pengambilan keputusan tingkat II untuk RUU Pilkada. Keputusan ini diambil setelah mendengarkan aspirasi dari mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat.
“Kami mendorong agar KPU RI segera menyusun Peraturan KPU yang sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi,” demikian pernyataan resmi Partai Demokrat, Sabtu (24/8/2024).
Sebelumnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang juga anggota KIM, menarik dukungannya terhadap RUU Pilkada. Juru Bicara PKS, Muhammad Kholid, menyatakan bahwa partainya menyambut baik keputusan pimpinan DPR untuk membatalkan revisi UU Pilkada.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menjelaskan alasan di balik batalnya pengesahan revisi UU Pilkada. Menurut Dasco, keputusan ini diambil karena aturan tata tertib persidangan tidak terpenuhi.
“Kita ikuti tata tertib yang berlaku tentang tata cara persidangan di DPR. Setelah ditunda 30 menit, menurut tata tertib, tidak bisa diteruskan sehingga kita tidak jadi laksanakan,” kata Dasco, yang juga Ketua Harian Partai Gerindra, dalam konferensi pers pada Kamis (23/8).
Baca: MK “Reborn” sebagai “Penyelamat” Demokrasi?
Meski pengesahan RUU Pilkada batal, Dasco menegaskan bahwa KIM tetap solid. Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR sepakat membawa RUU Pilkada ke rapat paripurna pada Kamis (23/8/2024). Delapan dari sembilan fraksi menyetujui RUU tersebut, dengan PDIP sebagai satu-satunya yang menolak.
Pembahasan RUU Pilkada dilakukan dengan cepat, hanya dalam waktu kurang dari tujuh jam, sehari setelah MK mengeluarkan putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah syarat pencalonan pilkada.
Kendati demikian, DPR tidak mengakomodasi seluruh putusan MK, yang menyebabkan gelombang protes besar di berbagai kota di Indonesia. Demonstrasi ini menjadi bagian dari gerakan ‘peringatan darurat Indonesia’ yang viral di media sosial.
Putusan MK menghapus ambang batas pencalonan kepala daerah yang sebelumnya diatur sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah dalam UU Pilkada.
Sebagai gantinya, MK menetapkan syarat baru berdasarkan jumlah penduduk, memungkinkan partai tanpa kursi di DPRD untuk tetap mencalonkan pasangan calon (paslon) kepala daerah, asalkan memenuhi syarat perolehan suara sah antara 6,5 persen hingga 10 persen, tergantung jumlah pemilih tetap di provinsi tersebut.
Namun, keputusan Baleg DPR justru mempertahankan ambang batas lama, yaitu 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah. Mereka juga menetapkan batas usia calon gubernur dan wali kota/bupati, mengacu pada keputusan Mahkamah Agung, bukan MK, yang menegaskan usia minimum calon gubernur adalah 30 tahun dan calon wali kota/bupati adalah 25 tahun saat ditetapkan sebagai paslon, bukan saat dilantik.