KOSTATV.ID – JAKARTA – Ketidakhadiran Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, dalam Kongres III Projo akhir pekan lalu, serta sejumlah pernyataan Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, dinilai menjadi sinyal keretakan hubungan antara Jokowi dan organisasi relawan yang dulu mendukungnya.
Projo, yang dibentuk menjelang Pilpres 2014 sebagai barisan pendukung Jokowi, kini berada di ambang perpisahan arah politik. Dalam pidato penutupan Kongres di Jakarta, Sabtu (1/11/2025), Budi Arie menegaskan bahwa Projo bukan lagi singkatan dari “Pro Jokowi”.
“Projo berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti negeri dan bahasa Jawa Kawi yang bermakna rakyat. Jadi kaum Projo adalah kaum yang mencintai negara dan rakyatnya,” ujar Budi Arie.
Budi Arie juga mengumumkan rencana mengganti logo Projo yang selama ini menampilkan siluet Jokowi. Langkah itu, menurutnya, dimaksudkan agar organisasi tidak terkesan mengultuskan satu sosok.
“Logo Projo akan kita ubah supaya tidak terkesan kultus individu. Kami juga mendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto,” kata dia.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menilai langkah Projo sebagai tanda jelas pergeseran orientasi politik.
“Projo itu mazhab kekuasaan, bukan relawan murni. Jadi siapa pun yang berkuasa, itu yang diikuti,” ujar Pangi sebagaimana dilansir dari detikcom, Selasa (4/11).
Menurut Pangi, keputusan Budi Arie untuk tidak lagi menempatkan Jokowi sebagai figur sentral menjadi sinyal perpisahan keduanya. “Sudah tidak lagi kultuskan Jokowi sebagai sumber kekuasaan,” katanya.
Baca: Memenuhi Kriteria Calon Pemimpin: Projo Menegaskan Dukungan untuk Prabowo Subianto di Pilpres 2024
Pangi menilai Jokowi kini mulai kehilangan momentum politiknya, terutama setelah tidak lagi mendapat dukungan dari Projo. “Sebelumnya Jokowi itu kultus, sumber kekuasaan dan memegang kendali penuh. Sekarang perlahan ditinggalkan oleh relawan yang mencari sumber kekuasaan baru,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia (ASI), Ali Rif’an, menilai langkah Projo sebagai strategi untuk tetap relevan dalam peta politik pasca-Jokowi.
Ali menyoroti pernyataan Budi Arie tentang kemungkinan bergabung dengan Gerindra, partai yang kini dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto.
“Jika tidak bergabung ke Gerindra, relawan Projo tidak punya sandaran politik yang kokoh. Dulu mereka punya patron politik ke Jokowi, tapi sekarang Jokowi bukan lagi presiden,” ujar Ali saat dihubungi, Senin (3/11).
Ali menilai keputusan tersebut merupakan langkah realistis, terlebih setelah Budi Arie keluar dari kabinet pemerintahan sebelumnya. “Budi Arie melakukan langkah strategis dengan menyatakan dukungan kepada Prabowo,” katanya.
Menurut Ali, Projo kini membutuhkan patron kuat untuk menjaga eksistensinya. “Relawan itu berbeda dengan partai politik. Jika tidak memiliki patron, peran dan posisi tawar mereka akan meredup,” ujarnya.
Ali juga melihat perubahan logo Projo sebagai simbol dimulainya era baru organisasi tersebut. “Dengan mengganti logo, sudah jelas bahwa era baru relawan Projo sedang dimulai. Ini langkah logis, apalagi mereka tidak bertransformasi menjadi partai politik,” katanya.
Namun, Ali tidak sepenuhnya sepakat jika langkah itu diartikan sebagai upaya menjauh dari Jokowi. “Menurut saya, ini lebih kepada pilihan realistis. Simbiosis mutualisme antara Projo dan Jokowi sudah tidak lagi ada,” ujarnya.
									










